Tulisan ini terinspirasi dari kebohongan yang pernah
diucapkan,
Dan masih banyak kebohongan-kebohongan yang terjadi di
kehidupan duniawi.
Mungkin, sepintas kebohongan yang telah diucapkan tidak akan
bermakna dan memiliki rasa,
Bila kebohongan itu tidak terungkap kebenarannya.
Mungkin sepele, tapi bila kebohongan yang terus diucapkan
Maka ia dapat menjadi candu. *candu asmara kaliiiii..
Bukankah kebohongan hanya dapat menutupi sesaat.
Bukankah dengan adanya kebohongan, maka dapat merusak kepercayaan yang diberikan
seseorang.
Dan bukankah kebohongan itu
dapat menciderai nilai-nilai persahabatan yang telah dibina.
Sampai pada saatnya kebohongan yang telah di ucapkan,
nantinya...
Akan menghasilkan kebohongan – kebohongan yang lain untuk
menutupi suatu kebohongan yang telah diucapkan.
Ada yang berkata “berbohong demi kebaikan”
Tentu kalimat ini perlu penafsiran secara tegas dan jelas.
Kebaikan seperti apa yang dihasilkan dari berbohong ????
Jika dalam UU, diperlukan adanya penafsiran otentik,
penafsiran restriktif, penafsiran gramatikal, penafsiran historis,
penafsiran ekstensif, penafsiran
sistematis, dan penafsiran analogis.
Apakah hal itu berlaku sama bagi “kebaikan” dari arti
berbohong.
kepercayaan itu
mahal, dan alangkah baiknya apabila dijaga.